https://dumai.times.co.id/
Opini

Anarkisme Jalan Keluar?

Jumat, 19 September 2025 - 04:34
Anarkisme Jalan Keluar? Angga T. Sanjaya, Akademisi Prodi Sastra Indonesia, Fakultas Sastra Budaya dan Komunikasi, UAD.

TIMES DUMAI, YOGYAKARTA – Peristiwa demonstrasi besar-besaran hingga tindakan anarkis yang mengguncang Gedung DPR pada 2025 tidak muncul dalam ruang kosong. Ia lahir dari akumulasi kekecewaan panjang masyarakat terhadap praktik politik yang terus menerus melahirkan kebijakan elitis, mulai dari kenaikan tunjangan, fasilitas mewah anggota dewan, hingga aturan-aturan yang dianggap menekan rakyat kecil. 

Keputusan DPR untuk menaikkan tunjangan perumahan dan fasilitas pribadi para wakil rakyat di tengah kondisi ekonomi yang rapuh menjadi pemicu utama. Namun, jika dibaca melalui optik Pierre Bourdieu, inti persoalan bukan hanya kenaikan tunjangan itu sendiri, melainkan mekanisme dominasi simbolik yang menyertainya.

Akar masalah demo tersebut sejatinya dapat diukur dari serangkaian kebijakan yang dirasa nir-empati dalam situasi negera yang tengah prihatin. Sederet peristiwa inilah yang memberi dorongan subjek kolektif untuk menemukan pintu keluar bagi perangkap kamar dominasi yang perlahan muncul sebagai teritori kekuasaan. 

Jika merujuk tulisan Bourdieu Bahasa dan Kekuasaan Simbolik (2020) kita dapat menangkap bahwa lanskap dominasi dalam masyarakat modern seringkali tidak hanya hadir melalui kekerasan fisik atau pemaksaan hukum, melainkan melalui simbol, bahasa, dan representasi. 

Dalam konstruksi argumentasi demikian, kita daapt menempatkan elite politik sebagai kelompok dengan modal simbolik yang kuat. Sederet atributif sebagai wakil sah rakyat, pengelola negara, dan penentu arah pembangunan, mereka bisa mengesahkan kebijakan yang memiliki implikasi luas bagi rakyat. Sayangnya, politik konstitusi yang dilahirkan tak jarang dianggap memberatkan rakyat. 

Dalam situasi demikian, karena gugatan yang hadir tidak berdampak signifikan untuk menggunjang posisi aktor dominan, lambat laun segala kebijakan yang diputuskan sudah wajar, rasional, dan tak terbantahkan. 

Inilah politik retorika yang setidaknya dapat ditangkap penulis, lebih-lebih, secara eksplisit narasi seperti “lebih baik ada DPR dari pada tak ada wakil rakyat” atau “hanya orang tolol yang meminta DPR dibubarkan”, menjadi variabel bagi interpretasi munculnya potensi represi simbolik untuk mempertahankan posisi ‘wajar’ kebijakan yang sejatinya destruktif tersebut. 

Dalam perspektif Bourdieu, doxa sebagai mekanisme keyakinan dan pandangan yang diterima begitu saja sebagai kewajaran sosial sangat mungkin terjadi pada masyarakat modern yang dikendalikan oleh simbol-simbol komunikasi media.

Dalam konteks DPR, dominasi simbolik bekerja ketika kebijakan tunjangan dikemas dengan bahasa “kesejahteraan wakil rakyat demi kualitas kerja yang lebih baik”. Di balik narasi itu, tersembunyi kenyataan bahwa masyarakat harus menanggung beban hidup kian berat: harga kebutuhan pokok melonjak, subsidi dipangkas, sementara akses kesehatan dan pendidikan masih timpang. Dominasi simbolik membuat rakyat seolah dipaksa memahami bahwa pengorbanan mereka normal, sementara kenyamanan elite politik adalah hak.

Namun, titik jenuh sosial mengubah situasi. Demonstrasi yang berujung bentrok dan penjarahan adalah bentuk perlawanan terhadap dominasi simbolik tersebut. Rakyat menolak menerima doxa yang dilembagakan DPR. 

Ketika simbol-simbol legitimasi runtuh, maka politik jalanan menjadi medium untuk menciptakan counter-doxa, sebuah narasi tandingan bahwa keputusan DPR adalah pengkhianatan, bukan kewajaran. 

Gas air mata, barikade polisi, dan framing media tentang “anarkisme” justru memperkuat kesadaran bahwa pertarungan yang sedang terjadi bukan hanya tentang uang 50 juta per bulan, melainkan tentang siapa yang berhak mendefinisikan keadilan dalam masyarakat.

Subjek Radikal Zizek-Deleuze sebagai Politik Jalanan

Slavoj Zizek melalui telaahnya The Ticklish Subject: The Absent Centre of Political Ontology (1999) memberi kita cara pandang yang tajam untuk memahami peristiwa semacam ini. Bagi Zizek, subjek radikal lahir bukan ketika ia sekadar menuntut dalam kerangka aturan yang ada, melainkan ketika ia berani melakukan “tindakan” (act) yang memutus normalisasi sistem. 

Tindakan ini bersifat mengganggu keteraturan simbolik, membawa irisan traumatis yang tidak bisa langsung ditampung oleh struktur politik formal. Dengan demikian, demo yang dianggap anarkis dan penjarahan di sekitar Senayan bukan sekadar ekspresi marah tanpa arah, melainkan momen radikal di mana subjek kolektif menunjukkan dirinya di luar kerangka normal politik representatif.

Dalam kerangka Zizek, tindakan anarkis ini menyingkap kebenaran yang selama ini disembunyikan oleh tatanan simbolik negara, bahwa klaim wakil rakyat untuk hidup mewah tidak pernah sungguh mewakili rakyat. Rakyat hadir sebagai subjek radikal yang mengungkapkan lubang dalam struktur, sebuah momen ketika demokrasi prosedural telanjang sebagai mekanisme eksklusi.

Jika kita menukil perspektif Deleuze dan Guattari dalam A Thousand Plateaus: Capitalism and Schizophrenia (1987) kita dapat mengintegasikan lapisan analisis lain dalam membedah peristiwa anarkis ini. Dengan konsep “multiplicity” (realitas tidak tersusun dari satu esensi) dan “rizoma” (struktur non hieraskis dan acak dari multiplisitas), baginya, subjek tidak pernah tunggal atau terikat pada pusat identitas, melainkan berjejaring, menyebar, dan selalu dalam proses menjadi. 

Demonstrasi anarkis 2025 dapat dibaca sebagai perwujudan rizoma, yaitu jaringan heterogen dari mahasiswa, buruh, pelajar, komunitas miskin kota, hingga pedagang kecil yang menyatu dalam aksi tanpa pusat komando tunggal. Tidak ada satu organisasi formal yang benar-benar mengendalikan, namun energi kolektif menyebar dan menyalur melalui jalur-jalur imajinasi serta kemarahan yang saling terhubung.

Dalam perspektif ini, penjarahan yang muncul bisa dipahami sebagai “deterritorialisasi”, yaitu upaya pelepasan diri dari teritori hukum dan moral resmi. Ia tidak bisa serta-merta dilihat sebagai kriminalitas belaka, melainkan juga sebagai tanda bahwa subjek kolektif mencoba memproduksi ruang baru di luar normalisasi sistem. 

Jika Zizek menekankan dimensi radikal tindakan, Deleuze membantu kita melihat sifat cair, spontan, dan tak terduga dari pergerakan massa. Demonstrasi tidak lagi sekadar artikulasi aspirasi politik, melainkan menjadi momen di mana subjek kolektif melakukan “eksperimen keberadaan” di luar teritori yang diatur oleh elite.

Anarkisme: Jalan Keluar atau Jalan Buntu?

Pertanyaan besar yang kemudian muncul adalah anarkisme ini mengarah ke mana? Apakah ia menjadi tindakan tepat untuk melawan dominasi, atau justru memberi dekadensi dalam kehidupan politik dan demokrasi Indonesia? Jawabannya tidak sederhana.

Di satu sisi, anarkisme dalam bentuk demo besar, bentrokan, dan bahkan penjarahan adalah perlawanan yang sah terhadap ketidakadilan struktural. Ketika saluran demokrasi formal tersumbat, petisi diabaikan, aspirasi rakyat diputarbalikkan, sedangkan kebijakan tetap diambil sepihak, maka jalan anarkis menjadi semacam “politik terakhir” bagi mereka yang tidak punya ruang. 

Dalam arti ini, anarkisme adalah momen kebenaran. Ia menyingkap kontradiksi sosial yang tidak mungkin lagi ditutupi. Rakyat yang turun ke jalan, meski dengan cara yang keras, sesungguhnya sedang mengatakan bahwa kontrak sosial telah rusak. Tanpa momen anarkis, mungkin elite akan terus merasa aman di menara gading kekuasaan.

Namun, di sisi lain, anarkisme juga mengandung bahaya dekadensi. Ketika penjarahan dan kekerasan mendominasi, solidaritas publik bisa terbelah. Media arus utama dan elite politik akan memanfaatkan situasi ini untuk mendeligitimasi perjuangan, menggiring opini bahwa rakyat tidak pantas didengar karena hanya bisa merusak. 

Akibatnya, energi politik yang lahir dari kemarahan bisa segera direduksi menjadi sekadar “kerusuhan kriminal” yang ditangani dengan represif. Demokrasi pun tidak mendapat manfaat, karena yang tampak hanyalah kekacauan, bukan tuntutan keadilan.

Dengan kata lain, anarkisme adalah pedang bermata dua. Ia bisa menjadi jalan keluar menuju kesadaran politik baru, tetapi juga bisa menjadi jalan buntu yang justru memperkuat rezim represif. Maka yang menentukan bukan hanya ledakan anarkis itu sendiri, melainkan bagaimana ia ditafsirkan, diorganisasi, dan dipertahankan dalam bentuk gerakan politik berkelanjutan. Tanpa transformasi menjadi gerakan yang lebih terstruktur, energi anarkis hanya menjadi momentary spark, letupan sesaat yang cepat padam.

Dalam konteks Indonesia, demo DPR 2025 memperlihatkan dua sisi ini sekaligus. Di satu sisi, ia menunjukkan bahwa rakyat masih punya energi politik untuk menolak dominasi simbolik elite. Di sisi lain, insiden penjarahan membuat sebagian publik ragu, apakah gerakan ini benar-benar mewakili perjuangan keadilan atau hanya ledakan emosi tanpa arah. Di sinilah refleksi kritis perlu dilakukan, bagaimana menjadikan anarkisme bukan sekadar gejolak, tetapi juga pintu masuk bagi pembentukan politik alternatif.

Opini ini hendak menegaskan bahwa demonstrasi besar di DPR 2025 tidak bisa dibaca hanya sebagai kerusuhan. Ia adalah peristiwa politik kompleks yang mengandung lapisan dominasi simbolik, tindakan radikal subjek, serta dinamika rizomatik subjek kolektif. Anarkisme yang lahir bukan sekadar destruksi, tetapi juga protes terhadap hegemoni simbolik yang telah lama menindas.

Apakah ia jalan keluar atau jalan buntu, bergantung pada bagaimana masyarakat dan gerakan rakyat mengelola energi itu. Jika anarkisme mampu ditransformasikan menjadi wacana politik alternatif dan organisasi yang lebih solid, maka ia bisa menjadi tonggak penting demokrasi. Tetapi jika ia hanya berhenti pada penjarahan dan kekerasan, maka dominasi simbolik elite akan kembali berjaya dengan mudah.

Anarkisme dalam demo DPR 2025 adalah tanda bahwa demokrasi Indonesia sedang berada di persimpangan. Ia bisa menuju radikalisasi positif, membuka ruang partisipasi baru, atau justru tergelincir ke dekadensi politik yang hanya menguntungkan penguasa. Pertarungan makna atas peristiwa ini masih berlangsung, dan di sanalah masa depan politik kita dipertaruhkan.

***

*) Oleh : Angga T. Sanjaya, Akademisi Prodi Sastra Indonesia, Fakultas Sastra Budaya dan Komunikasi, UAD.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Dumai just now

Welcome to TIMES Dumai

TIMES Dumai is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.