TIMES DUMAI, PROBOLINGGO – Tak bisa dipungkiri, belakangan ini, kita seringkali mendapati orang yang dengan mudah menuduh kafir orang lain hanya karena berbeda pandangan. Bahkan terkait dengan pandangan politik. Pengkafiran kepada orang lain ini disebut takfir yang memiliki akar yang sama dengan kata kafir.
Sebenarnya, jika kita mengkaji sejarah pengkafiran bukanlah sesuatu yang baru terjadi di tubuh Islam. Kelompok pertama yang menuding kafir kepada orang lain adalah Khawarij.
Kelompok ini percaya kepada Allah dan Rasulullah, membaca syahadat, bahkan rajin membaca al-Quran. Persoalannya kepentingan politik membawa mereka pada kesalahan dalam menafsirkan al-Quran.
Karena itu, semua pandangan yang berseberangan dengan mereka dianggap sesat, keliru dan harus diberangus sampai ke akar-akarnya. Alasan yang dikemukakan adalah bahwa pandangan orang lain tersebut bertentangan dengan Islam.
Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam kitab Fath al-Bari fi Syarh Sahih al-Bukhari mengatakan “Mereka (Khawarij) disebut juga al-qurra (para pembaca al-Quran dan ahli ibadah) karena kesungguhan mereka dalam membaca al-Quran dan ketekunannya dalam beribadah. Hanya saja mereka mentakwil (menafsirkan) al-Quran keluar dari apa yang dimaksudkan al-Quran itu sendiri, menganggap pendapatnya paling benar, dan bersikap zuhud dan khusu’ yang dibuat-buat dan tampak dipaksakan.”
Mereka terus terang tidak mengetahui bahwa mengkafirkan orang lain selagi memegang teguh rukun iman dan melaksanakan rukun Islam jelas-jelas dilarang. Imam Muhyiddin Syaraf An-Nawawi dalam kitab Riyadu as-Salihin mengumpulkan hadits-hadits yang menunjukkan keharaman mengkafirkan sesama muslim.
Hadits-hadits itu kemudian dijadikan satu bab tersendiri, yaitu bab Tahrimu Qaulihi li al-Muslim: Ya Kafir (bab keharaman seorang muslim mengatakan “hai kafir” kepada muslim yang lain).
“Ketika seseorang berkata kepada saudaranya, “hai kafir” maka kalimat tersebut akan kembali ke salah satu di antara keduanya, apabila hal tersebut sebagaimana yang ia katakan, jika tidak maka akan kembali kepada dirinya (si pengucap).” (HR Muttafaq Alaih).
Setidaknya, hadits ini memberi peringatan kepada kita agar tidak sembarangan memvonis orang lain dengan vonis kafir. Sebab, jika tuduhan tersebut tidak benar maka akan menjadi senjata makan tuan.
Larangan untuk mengkafirkan sesama muslim secara sahih juga dapat kita lihat dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar yang terdapat dalam al-Mu’jam al-Kabir karya Imam ath-Tabrani:
“Dari Ibnu Umar ia berkata, Rasulullah Saw. bersabda, tahanlah diri kalian (menyerang) ahli Lailaha illallah, jangan kalian mengkafirkan mereka karena suatu dosa. Karena orang yang mengkafirkan ahli lailaha illallah maka ia lebih dekat kepada kekafiran," (HR ath-Tabrani).
Abdurrauf al-Munawi mengatakan bahwa, maksud dari ahli lailaha illallah dalam hadits itu adalah, orang-orang yang mengatakan lailaha illallah muhammad ar-rasulullah, meskipun apa yang ada dalam hatinya tidak diketahui. Mengkafirkan mereka tidak diperbolehkan meskipun dosa yang dilakukannya seperti membunuh, zina, dan mencuri.
“Mereka adalah orang-orang yang mengucapkan lailaha illallah artinya mengucapkan dengan dibarengi syahadat yang kedua (muhammad rasulullah) meskipun apa yang ada dalam hatinya tidak diketahui. (Jangan kalian mengkafirkan mereka karena suatu dosa) yang mereka lakukan meskipun itu dosa yang paling besar seperti membunuh, zina, dan mencuri,” (Abdurrauf al-Munawi: 1415 H, hlm. 12).
Abdurrauf al-Munawi mengandaikan bahwa seorang yang telah mengucapkan dua kalimat syahadat (muslim), meskipun ia melakukan dosa besar, maka tidak serta merta boleh dicap kafir. Kenapa demikian? Karena konsekuensi logis dari tuduhan kafir adalah kehalalan darah dan hartanya.
Padahal, harta dan darah orang muslim itu adalah sesuatu yang diharamkan bagi siapapun, kecuali memang ada alasan yang dibenarkan. Keharaman harta dan darah orang muslim telah ditegaskan sendiri oleh Rasulullah Saw, dalam khotbah pada Haji Wada’ (haji perpisahan).
Ath-Thahawi, dalam Syarh Ma’ani al-Asar mengatakan “Sungguh, hari yang paling agung kesuciannya adalah hari ini, bulan yang paling agung kesuciannya adalah bulan ini, dan negeri yang paling agung kesuciannya adalah negeri ini. Sungguh, darah dan harta kalian itu haram atas kalian seperti kesucian hari ini, bulan ini, dan negeri ini.”
Dari sini kita tahu, bahwa doktrin anti pengkafiran terhadap sesama muslim menjadi doktrin yang sangat penting dalam teologi ahl as-sunnah wa al-jama’ah dan menjadi salah satu ciri khas dari mereka.
Begitu juga Imam Abu al-Hasan Asy’ari sebagai tokoh penting dalam teologi ahl sunnah wa al-jama’ah dengan tegas menyatakan “Kami tidak mengkafirkan seorang pun dari ahli kiblat. Sebab, dosa yang dilakukannya sepanjang mereka tidak menganggap halal seperti zina, mencuri, dan meminum khamr” (Abu Hasan al-Asy’ari, al-Ibanah an Ushul ad-Diyanah, Bairut-Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2005 M, hlm.17).
Rupa-rupanya, dalam konteks ini, Al-Ghazali dalam kitab al-Iqtisad fi al-I’tiqad mengingatkan kepada kita agar berhati-hati dan berusaha sebisa mungkin menghindari memberikan cap kafir kepada sesama muslim. Bahkan, beliau sampai pada kesimpulan bahwa kekeliruan membiarkan seribu orang kafir tetap hidup itu masih lebih ringan ketimbang menumpahkan darah seorang muslim. Ini dapat kita lihat dari dua pernyataan beliau;
Pertama, “Sikap yang sebaiknya diambil oleh pencari kebenaran adalah menghindari dari mengkafirkan orang lain selama ia menemukan jalan untuk menghindarinya. Karena sesungguhnya menghalalkan darah dan harta-benda orang-orang yang salat menghadap ke kiblat, yang nyata-nyata mengucapkan lailaha illallah muhammad ar-rasulullah, adalah kesalahan. Sedang kesalahan membiarkan seribu orang kafir tetap hidup itu lebih ringan ketimbang kesalahan menumpahkan darah seorang muslim.
Tak hanya itu, menariknya, Al-Ghazali dalam literatur yang lain juga mengatakan “Hendaknya kamu sebisa mungkin menjaga lisanmu dari (menuduh kafir) ahli kiblat selama mereka mengucapkan kalimat lailaha illallah muhammad ar-rasulullah, tidak menentangnya. Sedangkan menentangnya adalah membolehkannya mereka mendustai Rasulullah Saw. baik disebabkan uzur atau tidak. Sebab, pengkafiran dalam hal ini adalah sangat berbahaya. Sedangkan diam (tidak mengkafirkan) itu tidak berbahaya,” (Faishal at-Tafriqah yang dinukil dalam Majmu’ ar-Rasail li al-Imam al-Gazali. hlm. 89).
Sebagai penutup, mencela sesama kaum muslimin secara umum termasuk dalam perbuatan dosa besar. Apalagi sampai kafir-mengkafirkan sesama muslimin.
Diriwayatkan dari sahabat Abdullah bin Mas’ud, Nabi Saw. bersabda “Bahwa mencela seorang muslim adalah kefasikan dan memeranginya adalah kekufuran,” (HR. Bukhari Muslim).
Lebih dari itu, mencela sesama muslim dengan melemparkan tuduhan bahwa dia telah kafir adalah perbuatan ceroboh. Penyakit semacam ini telah menjangkiti sebagian kaum muslimin karena lemahnya pemahaman mereka terhadap aqidah dan manhaj yang benar. Padahal, kita ketahui, sudah banyak kita jumpai hadits-hadits Nabi Saw yang memperingatkan akan hal ini.
***
*) Oleh: Salman Akif Faylasuf, Alumni PP Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo. Sekarang Nyantri di PP Nurul Jadid Paiton Probolinggo.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Pewarta | : |
Editor | : Hainorrahman |